Meneguhkan Guru sebagai Profesi: Refleksi Hari Guru Nasional 25 November 2025
Dr. Haryadi, M.Pd.
Dosen FKIP UM Palembang
Ketua BMPS Wilayah Provinsi Sumatera Selatan
Dewan Pakar majelis Dikdasmen & PNF PDM & PWM
TRANS SUMSEL – Setiap tanggal 25 November, Indonesia memperingati Hari Guru Nasional, sebuah momentum yang bukan hanya bersifat seremonial, tetapi sarat makna sosial, kultural, dan moral. Hari Guru Nasional mengajak seluruh elemen bangsa untuk merefleksikan kembali posisi strategis guru dalam pembangunan peradaban. Di tengah perubahan zaman yang begitu cepat, peran guru tidak sekadar sebagai pengajar, tetapi sebagai profesional yang mengemban tugas intelektual, pedagogis, dan etis. Karena itu, urgensi untuk menegaskan bahwa guru adalah profesi semakin relevan dan mendesak.
Guru Sebagai Profesi: Makna dan Konsekuensi
Dalam Undang Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, ditegaskan bahwa guru adalah tenaga profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Penegasan normatif ini mengandung konsekuensi bahwa guru tidak bisa diposisikan sebagai pekerjaan sampingan atau aktivitas sukarela belaka.
Sebagai profesi, guru dituntut untuk memiliki: (1) Kompetensi pedagogik, profesional, sosial, dan kepribadian yang dapat diukur dan dikembangkan; (2) Kualifikasi akademik yang memadai, yakni minimal sarjana; (3) Pengakuan melalui sertifikasi profesi; Ketaatan terhadap kode etik; dan (3) Komitmen terhadap pengembangan keprofesian berkelanjutan. Oleh karena itu, romantisasi “guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa” sudah saatnya ditinjau ulang. Narasi tersebut memang mengandung penghormatan moral, tetapi juga berpotensi mengaburkan status guru sebagai profesi yang memerlukan kompetensi khusus dan penghargaan proporsional.
Tantangan Guru di Era Transformasi Pendidikan
Tantangan dunia pendidikan saat ini semakin kompleks. Revolusi digital, disrupsi teknologi, dan karakter generasi Z serta Alpha menuntut guru untuk beradaptasi lebih cepat. Guru kini bukan lagi satu-satunya sumber pengetahuan; fungsi mereka telah bergeser menjadi knowledge navigator yang memandu peserta didik memilah informasi yang benar, relevan, dan bernilai.
Beberapa tantangan yang kini dihadapi guru antara lain: (1) Tuntutan integrasi teknologi pembelajaran, baik melalui platform digital maupun kecerdasan buatan; (2) Heterogenitas peserta didik yang semakin tinggi dalam aspek budaya, sosial, dan ekonomi; (3) Tanggung jawab membentuk kecakapan abad 21, seperti kreativitas, komunikasi, kolaborasi, dan berpikir kritis; (4) Perubahan kurikulum yang dinamis, termasuk implementasi Kurikulum Merdeka yang memberikan ruang fleksibilitas lebih luas; dan (5) Masalah sosial-emosional siswa yang semakin menantang akibat pengaruh media sosial serta perubahan gaya hidup. Dengan tuntutan sebesar ini, guru tidak bisa bekerja dalam ruang yang penuh keterbatasan. Profesionalitas membutuhkan dukungan yang memadai.
Profesionalisme Guru Harus Diperkuat oleh Kebijakan
Peningkatan mutu pendidikan tidak akan pernah terwujud tanpa peningkatan kualitas guru. Dalam konteks inilah kebijakan pemerintah menjadi krusial. Profesionalisme guru harus didukung oleh: (1) Kesejahteraan yang layak dan merata, sehingga guru dapat berkonsentrasi pada pengembangan kompetensi dan pembelajaran; (2) Pelatihan yang berkelanjutan, berbasis kebutuhan nyata dan bukan sekadar formalitas administratif; (3) Akses sarana dan prasarana pendidikan yang memadai, termasuk teknologi digital; (4) Penguatan komunitas belajar guru, seperti MGMP dan KKG, untuk menumbuhkan budaya refleksi dan inovasi; dan (5) Sistem evaluasi yang adil dan konstruktif, bukan sekadar pemenuhan administrasi. Keberadaan guru honorer yang masih belum sejahtera juga merupakan ironi yang harus segera dituntaskan. Tidak mungkin berbicara tentang guru sebagai profesi jika sebagian guru masih berada dalam kondisi ketidakpastian ekonomi.
Peran Masyarakat: Mengembalikan Wibawa Guru
Selain negara, masyarakat juga memiliki peran besar dalam menegakkan martabat guru. Di tengah era digital yang kerap memperlihatkan polarisasi sosial, penghormatan terhadap guru sering kali tergerus oleh budaya instan dan konsumerisme. Guru yang diperlakukan sebagai “penyedia layanan pendidikan” semata akan membuat relasi guru–siswa menjadi transaksional. Padahal, pendidikan sejatinya membangun hubungan yang bersifat manusiawi, berlandaskan kepercayaan dan keteladanan. Ketika masyarakat menghargai guru sebagai profesional, lingkungan pendidikan akan tumbuh lebih sehat dan beradab.
Momentum Refleksi: Menyambut Hari Guru Nasional 2025
Peringatan Hari Guru Nasional 2025 harus menjadi titik balik untuk memperkuat komitmen bersama bahwa posisi guru dalam masyarakat bukan sekadar simbol, melainkan entitas profesional yang harus dihormati dan diberdayakan. Guru memiliki kontribusi langsung dalam membentuk watak bangsa. Tanpa guru yang profesional, mustahil Indonesia dapat melahirkan generasi unggul yang berkarakter dan berdaya saing global. Dalam konteks pembangunan nasional jangka panjang, profesi guru adalah pondasi strategis. Investasi pada guru berarti investasi pada masa depan bangsa.
Memuliakan Guru Adalah Memuliakan Indonesia
Guru adalah profesi yang membentuk profesi-profesi lainnya. Profesi ini memerlukan keahlian, integritas, dan komitmen jangka panjang. Di Hari Guru Nasional ini, kita diingatkan bahwa upaya memuliakan guru bukan sekadar kebutuhan moral, melainkan keharusan peradaban.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menempatkan guru pada posisi terhormat. Karena di ruang-ruang kelas yang sederhana, masa depan Indonesia sedang dirancang oleh mereka yang berdedikasi, bekerja senyap, namun menghasilkan perubahan yang monumental.
Selamat Hari Guru Nasional 2025.
Terima kasih kepada seluruh guru Indonesia: profesionalisme dan pengabdianmulah yang menjaga nyala peradaban.
